Sejarah Bandung adalah sejarah Tatar Ukur. Keduanya memiliki hubungan historis amat dalam dan sulit dilepaskan. Kini, 376 tahun setelah Ukur dihancurkan Susuhunan Agung Mataram, atau 198 tahun sejak Kota Bandung didirikan, episode Ukur habis, tandas, nyaris tanpa jejak penanda. POHON beringin kembar besar itu tegak kokoh berdiri di ketinggian bukit penuh semak alang-alang. Kiri kanannya lebak-lebak menghijau hamparan sawah. Sebongkah batu kali menancap tanah di kaki pohon ki meong yang akarnya belit-membelit.
Konon, di bawah batu kali itu pernah ditanam aneka pusaka dan perabotan dari zaman Dipati Ukur. Begitulah rupa Pabuntelan. Bekas ibu kota Ukur itu kini tak lebih sepetak tanah, yang orang-orang kampung sekitar mengenalinya hanya sebatas bekas makam keramat.
Camli (61), penduduk Kampung Cipatat, permukiman kecil di bawah kaki bukit Pabuntelan, celingukan saat ditanya benarkah tempat itu pernah menjadi pusat pemerintahan Adipati Ukur.
"Makam, dari dulu orang sini taunya gitu. Ini makam keramat," kata Camli kepada wartawan koran ini dua pekan lalu. Anehnya, tak ada jajaran nisan, pohon kamboja, atau tanaman puring yang biasa terlihat di areal pemakaman umumnya.
Selain dua pohon beringin (caringin) kembar yang besar dan teduh, pohon ki meong, dan semak belukar, Pabuntelan kini hanya jadi tempat transit para petani, pencari kayu bakar (suluh) di hutan Perhutani lereng utara kawasan Gunung Kolotok.
Namun Ayi Rukmana (54), orang asli kelahiran Pabuntelan, punya cerita sedikit lebih banyak daripada Camli. Termasuk legenda sebuah makam misterius di lereng gunung jauh di belakang Pabuntelan yang disebut Padaleman dan Pasir Ipis.
"Konon di bawah batu itu ditanam perabot dari zaman Dipati Ukur," kata Ayi sembari menunjuk batu hitam di kaki pohon ki meong. Ayi dan keluarga sejak pecah gerakan DI/TII tahun 1954 menyingkir ke kampung nun jauh di bawah Pabuntelan.
Dalam disertasinya yang dibukukan, Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda, almarhum Prof Dr Edi Suhardi Ekadjati mengutip Preanger Schetsen, laporan kunjungan P de Roo de La Faille, seorang Belanda calon kontrolir di afdeeling Cicalengka.
Nama Pabuntelan disebut karena La Faille dalam kunjungannya ke distrik Cipeujeuh dan sekitarnya sekitar awal tahun 1894 memperoleh bahan dan informasi tentang berbagai peninggalan sejarah terkait Dipati Ukur di tempat tersebut.
Pabuntelan terletak di perbatasan distrik Cipeujeuh dan Banjaran. Edi S Ekadjati dan timnya saat riset untuk disertasinya pada tahun 1976 pernah mengunjungi tempat tersebut, dan masih melihat sisa-sisa peninggalan sejarah Dipati Ukur.
Yang disaksikan pada tahun itu berupa makam kecil, pohon beringin yang tinggi, sebidang tanah berbentuk persegi yang dipagar bambu, sebuah lingga batu, sebuah batu bundar, dan beberapa buah pohon paku haji.
Pabuntelan kini hanya sebuah petak kecil lahan tak terurus di bukit kecil yang masuk wilayah administratif Desa Mekarjaya. Tak ada permukiman besar di sekitarnya, kecuali empat rumah panggung di sisi belakang bukit Pabuntelan, milik orang tua Ayi Rukmana.
Tiga dari empat rumah itu pun kini tak berpenghuni, hanya dijadikan tempat menimbun hasil sawah ladang. Salah satu rumah masih ditinggali ibu Ayi Rukmana, tapi hanya di siang hari. Malamnya perempuan tua itu akan turun ke Kampung Cipatat, tidur di rumah anak-anaknya.
Dulu wilayah tempat Pabuntelan berada ini merupakan bagian dari Desa Tenjonegara. Nama desa ini sudah jarang digunakan. "Tenjonegara, oh, eta mah nama zaman baheula. Sekarang sudah dipecah jadi Mekarjaya dan Mekarsari," kata Ayi Rukmana.
Meski sudah jarang digunakan, menemukan Pabuntelan di Tenjonegara tidaklah terlalu sulit. Tempat ini letaknya sekitar 20 kilometer arah tenggara Kota Bandung. Dari alun-
alun Ciparay, rutenya melewati jalan raya Pacet. Jalanan hingga ke bukit Pabuntelan sudah teraspal baik.
Sesudah melewati sebuah SPBU di kanan jalan raya Pacet di Cipeujeuh, belok kanan ke arah Desa Mekarjaya. Dari jalan raya Ciparay-Pacet, jarak ke Pabuntelan lebih kurang lima kilometer lewat jalan naik turun.
"Oh ya, memang ada Pabuntelan. Belok kanan ke Desa Mekarjaya, lalu ke kiri ke arah Pabuntelan. Tanya saja di sana, sudah pada tahu," kata seorang warga di tepi jalan Cipeujeuh. Tempat ini sekarang memang sudah tidak bisa bercerita apa-apa.
Kontras dengan situs-situs purbakala di Trowulan, bekas pusat kerajaan Majapahit. Atau Pajang, Kotagede, Kerta, Plered, Kartasura, bekas-bekas ibu kota Mataram dari era yang lebih muda.
Sejarah Ukur dan Adipati Ukur yang tumpas di tangan kekuasaan Mataram pada tahun 1632 Masehi hanya meninggalkan historiografi tradisional dengan banyak versi. Ada kisah-kisah yang terputus sementara jalinan sejarah Ukur dengan Bandung nyaris tak terbantahkan.
Anak muda Bandung zaman sekarang pun jika ditanya soal Dipati Ukur umumnya hanya ingat sebuah nama jalan yang membentang di depan kampus pusat Universitas Padjadjaran. Jalan Dipati Ukur, atau kadang disingkat "DU" saja.
Itu baru nama saja. Coba tanya tentang apa siapa Adipati Ukur. Perlu waktu banyak untuk menjelaskannya, sekalipun oleh mereka yang cukup melek sejarah. Sejarah Adipati Ukur memang kurang begitu mendapatkan tempat layak.
Padahal dia termasuk tokoh besar, satu dari segelintir pemimpin Sunda yang dengan beraninya menentang Mataram, ketika kekuasaan atas bumi Jawa begitu perkasa mengumpul jadi satu di tangan Susuhunan Agung Hanyokrokusumo.
Eranya terhenti di puncak Gunung Lumbung, Cililin. Balatentara Mataram dibantu orang-orang Priangan timur pada kira-kira tahun 1632 menggilas Adipati Ukur dan pengikutnya tanpa ampun.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar